Dya Iganov

Kamis, 22 Desember 2011

In Memoriam, R. Pekik Ginong Pratidino (May 13th 1975 - December 13th 2011) Repost: IBU NIKEN SYAFITRI

Kali ini artikel saya tulis dalam Bahasa Indonesia saja. Selain supaya leluasa menuangkan kenangan mengenai almarhum, juga untuk mengingat bahwa kami ini bangsa Indonesia. Sekelumit ingatan saya bersama Pak Pekik.

Sebelum masa Pelatihan Bahasa Inggris EAP Dikti di UGM Yogyakarta, saya tidak terlalu mengenal beliau. Meski kami kolega di institusi yang sama, Institut Teknologi Nasional Bandung, namun setiap bertemu hanya sebatas "say hello". Beliau adalah dosen tetap jurusan Teknik Planologi, dan saya di Teknik Elektro. Interaksi yang kurang ini diperparah juga dengan kesibukan sehingga saya agak-agak kuper untuk berinteraksi langsung selain hanya berkomunikasi via milis dosen atau social media.

Ketika sampai di kota Yogyakarta akhir bulan Oktober 2010 kami berenam, Bu Rosa Karnita, Bu Yulianti Pratama, Bu Kancitra Pharmawati, Pak Jono Suhartono, Pak M. Rangga Sururi, dan saya, memutuskan tinggal di hotel dulu sebelum mendapatkan residensial. Bu Ira Irawati yang datang menyusul kami pun memutuskan hal yang sama. Sementara Mbak Lisa Kristiana pulang-pergi Salatiga-Yogyakarta sebelum menemukan kos-kosan yang sesuai. Pak Pekik saat itu sudah tinggal di rumah Budhenya di Yogyakarta, namun kadang ikut tidur di kamar Pak Jono dan Pak Rangga di hotel.

Sampai beberapa hari setelah tiba di kota ini, mengikuti upacara pembukaan pelatihan di UGM, tes awal serta mengikuti pelatihan, sepulang waktu terpakai tersebut kami gunakan untuk mencari tempat tinggal. Pak Pekik yang sudah mengetahui seluk-beluk kota Yogyakarta ikut sibuk mencarikan kos-kosan bagi kami. Akhirnya Pak Jono dan Pak Rangga mendapatkan sebuah kamar kos untuk ditinggali berdua tak jauh dari lokasi hotel tempat kami menginap. Tinggal kami kaum Hawa yang belum mendapatkan kepastian. Dengan vespa coklatnya "Si Coki" Pak Pekik turut mencari sambil membonceng bergantian beberapa dari kami berputar-putar mencari residensial yang tak jauh dari UGM. Sampai akhirnya kami berlima, Cici Oca, Cici Ira, Mbak Ijul, Mbak Citra, dan saya, mendapatkan Asrama Putri UGM Ratnaningsih atas jasa Pak Pekik. Di asrama inilah akhirnya kami tinggal untuk beberapa bulan ke depan bersama mahasiswi-mahasiswa tingkat pertama UGM dengan persyaratan kami harus mengikuti peraturan yang sama dengan mereka. Kami menyewa dua kamar, satu ditempati oleh Cici Oca, Cici Ira, dan Mbak Ijul, sementara satu kamar lagi ditempati oleh Mbak Citra dan saya. Setelah memindahkan koper-koper dari hotel ke kos-kosan dan asrama, Pak Pekik mengantar kami bertujuh membeli perlengkapan dan peralatan keperluan sehari-hari ke Pasar Bringharjo dan seputaran Malioboro.

Peraturan asrama mengharuskan kami tidak boleh keluar asrama lagi setelah pukul 21.00. Jika ada keperluan khusus seperti tugas, maksimal pukul 22.00 mahasiswi sudah harus pulang, atau malah lebih baik menginap di rumah teman. Saat itu Mbak Ijul agak bandel (menurut kami), untuk pergi selepas pelatihan dan pulang larut bersama Pak Pekik entah ke mana. Kami berempat yang belum tahu arti penting di balik main-mainnya mereka berdua hanya bisa memperingatkan dan mengomel. Ternyata sahabat berdua ini main-main ke Kotagede dan tempat lain untuk menggali budaya Jawa lebih mendalam, terutama Pak Pekik.

Setelah letusan pertama Merapi, kami tetap tinggal di Yogyakarta karena dampak letusan tidak begitu terasa. Hanya abu tipis saja yang kadang turun. Di kala weekend, Cici Ira, Pak Jono, dan Pak Rangga pulang ke Bandung karena suatu keperluan. Sementara Cici Oca, Mbak Ijul, Mbak Citra, dan saya diajak Pak Pekik jalan-jalan mengenal Yogyakarta.

Tempat yang dikunjungi kala itu adalah kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dimulai dari Museum Kereta Kraton dengan segala pajangan kereta dan patung kuda serta perlengkapannya. Lalu dilanjutkan ke keraton, ke bangsal tempat berkumpulnya adipati-adipati dari berbagai daerah kekuasaan Mataram-Yogya dahulu kala untuk menerima titah Sri Sultan, penjelasan pakaian-pakaian yang dikenakan oleh keluarga Sultan, pengawal, abdi dalem, dan sebagainya, kemudian Pak Pekik menjelaskan relief yang menceritakan Perjanjian Giyanti saat Mataram terpecah menjadi Surakarta hadiningrat dan Ngayogyakarta hadiningrat, lalu dilanjutkan ke bangsal tempat singgasana Sang Sultan.

Ketika akan melanjutkan tour yang dipandu Pak Pekik menuju bagian lain keraton, melewati Keben, sangat disayangkan waktu kunjungan habis. Sehingga Pak Pekik memutar haluan kami untuk mengunjungi kompleks Taman Sari.

Mulailah kami jalan-jalan di Taman Sari, mblusuk-mblusuk melewati perumahan masyarakat sekitar karena banyak rumah yang didirikan di antara situs pemandian ini. Di sinilah saya mulai mengagumi keluasan pengetahuan Pak Pekik akan sejarah Mataram. Beliau bercerita dengan antusias bagaimana sebenarnya Taman Sari adalah kedok untuk menutupi bahwa sesungguhnya pemandian ini adalah benteng untuk menghadapi Belanda. Penjelasan bentuk bale-bale dari bata terplester dengan maksud-maksudnya.

Mblusuk-mblusuk yang benar-benar mblusuk sehingga kami menemukan bangunan kecil berbentuk silinder, yang setelah diperhatikan ternyata fungsinya dulu adalah jamban! Sampai masuk ke tempat yang tampaknya dilarang dimasuki pengunjung karena terhalang oleh palang kayu tapi kami nekad saja masuk. Akhirnya Pak Pekik menduga-duga lokasi ini adalah tempat pertukaran informasi antara telik sandi dan Sultan.

Dan sampailah kami di lokasi ibadah di Taman Sari dahulu kala, di bawah tanah, dengan banyak relung dan satu dataran untuk satu orang yang terhubung dengan tangga batu di keempat sisinya. Memasuki bagian ini Pak Pekik bertanya ke saya, apakah saya memiliki hubungan darah dengan keluarga keraton. Saya berkata tidak. Ketika keluar dari lokasi ini, pertanyaan yang sama diajukan, lagi-lagi saya bilang tidak. Capai kami rasakan dan akhirnya kami memutuskan untuk makan dan pulang. Kemudian Merapi menurunkan abu yang tebal sehingga mengganggu pernafasan kami. Ketika terjadi letusan kedua kalinya, kali ini besar, kami semua memutuskan untuk pulang ke Bandung, ditambah dengan keputusan dari PPB UGM untuk meliburkan kami selama dua minggu.

Sekembalinya ke Yogyakarta kami memulai aktivitas pelatihan lagi. Saya terkena ISPA karena efek debu Merapi saat itu sehingga selama tiga hari hanya bisa beristirahat di asrama. Setelah sehat dan beraktivitas bersama yang lain, setelah beberapa lama, Pak Pekik kembali menanyakan hal yang sama bolak-balik. Akhirnya saya menyerah karena saya juga penasaran dengan sesuatu. Ya, saya masih berhubungan darah dengan keraton Yogya. Pak Pekik terus mencecar silsilah saya, sampai akhirnya saya meminta adik untuk men-scan dan meng-email Kekancingan ibu saya. Sesuatu yang sebenarnya tidak kami pedulikan di zaman seperti saat ini. Pak Pekik begitu antusias menelusuri silsilah saya berdasarkan Kekancingan tersebut, lalu menjelaskan panjang lebar sejarah dimulainya Mataram saat Kerajaan Pajang masih berdiri. Menilik silsilah, ternyata kami masih berkerabat. Beliau memiliki trah Amangkurat IV (tolong ralat jika saya salah ingat), dan saya dari trah HB III. Saya ingat betul bagaimana beliau meminta izin untuk menambahkan silsilah saya untuk melengkapi data silsilah keluarga Mataram. Telusur dan telisik, beliau bilang bahwa kedudukan saya adalah nenek baginya. Mulai dari situlah panggilan "Eyang" bagi saya terucap.

Beliau pernah bertanya apa alasan saya untuk tidak mementingkan kekerabatan dengan keraton. Saya waktu itu menjawab ketidakpedulian saya, orang tua, adik, serta adik-adik ibu adalah karena kami melihat sisi negatif dari perebutan kekuasaan dan harta, yang sampai kini pun tercermin pada perilaku beberapa kerabat kami. Hal ini yang membuat kami mengambil jalan aman untuk tidak terlalu sering berinteraksi dengan kerabat-kerabat tersebut, mengambil kenetralan untuk tidak memihak sana maupun sini dalam persengketaan yang kerap terjadi. Saat itu beliau setengah bernasihat, boleh saja saya merasa sedikit kecewa akan hal tersebut, tapi alangkah baiknya jika saya tidak memutuskan begitu saja pertalian darah dan sejarah. Jadikan hal-hal seperti itu untuk tidak dilakukan. Mulai saat itulah Pak Pekik sangat bersemangat mengajak saya menelusuri sejarah asal-usul saya. Ya, selain saya juga penasaran sehingga menanyakan siapa saya. Sejarah pertama yang diulas adalah dari silsilah, sehingga saya mendapat kejelasan dan pencerahan dari sedikit kerancuan cerita dari Mbah Buyut Surabaya yang mungkin saat itu sudah agak pelupa.

Suatu hari beliau mengajak saya ke Keraton Yogya mengendarai vespa kesayangannya. Masuk melewati Gerbang Keben lalu menjelaskan filosofi ukiran yang ada di Bangsal Kencana. Kemudian awal pendirian keraton hingga perubahan besar-besaran yang dilakukan oleh HB VIII. Hingga akhirnya mengajak saya ke Perpustakaan Keraton untuk keperluan risetnya kelak saat menempuh studi doktoral. Kesempatan yang sangat langka karena tidak semua orang bisa masuk ke sini dengan mudah. Dan saya pun sempat membaca separo buku Serat Diponegoro volume pertama yang tertulis dalam tulisan latin berbahasa Jawi Kromo selama dua jam mendekam di perpustakaan tersebut. Dan di memoriam ini, untuk pertama kalinya saya mempublikasikan foto yang saya ambil kala itu, setelah mempertimbangkan bahwa Pak Pekik telah mem-posting foto-foto yang diambilnya di jaringan sosial facebook. Perpustakaan ini berdekatan pula dengan kantor tempat para abdi dalem melakukan absensi sebelum bertugas.

Selepas dari sini kami meneruskan perjalanan menuju Kaliurang, menuju Museum Ullen Sentalu. Museum yang didirikan atas inisiatif keluarga dari empat kerajaan trah Mataram, Surakarta Hadiningrat, Ngayogyakarta Hadiningrat, Mangkunegaran, dan Pakualaman. Museum yang sangat berkesan, dan saya melihat sisi lain dari nilai-nilai luhur yang bisa dipetik di sini. Terdapat ruangan khusus yang mengulas Gusti Nurul (Gusti Raden Ayu Siti Nurul Kamaril Ngasarati Kusumawardhani, putri tunggal pasangan Mangkunegara VII dan Gusti Ratu Timur-putri Sultan Hamengku Buwono VII). Dan saya sempat terkaget karena kemiripan wajahnya dengan ibu saya, terutama di foto saat beliau menari di depan Ratu Wilhelmina, Belanda. Wajahnya di usia tersebut sangat mirip dengan ibu saya di usia yang sama. Alasan ini pula yang membuat saya tak bosan untuk berkali-kali mengunjungi museum ini sewaktu kangen dengan ibu saat saya menjalani pelatihan dan merekomendasikannya ke teman-teman. Pak Pekik menjelaskan juga, adalah mungkin kemiripan wajah terjadi jika masih ada pertalian darah meskipun jauh. Oh ya, di museum ini, yang menjadi guide justru Pak Pekik, dan guide resmi dari museum malah ikut mendengarkan paparan beliau.

Setelah puas mengelilingi museum, karena letaknya yang dekat, kami menyempatkan melihat Pesanggrahan Ngeksigondo, pesanggrahan tempat tetirah keluarga Sultan di Kaliurang yang bersejarah sebagai tempat Perundingan Kaliurang tahun 1946. Di sini Pak Pekik minta dirinya diabadikan bersama dengan "Si Coki". Setelah itu kami turun dan mencoba menelusuri Kali Kuning yang ternyata sudah penuh oleh muntahan Merapi, tak ada air sama sekali. Terlihat pula di dekatnya beda lokasi yang terkena terjangan awan panas Merapi dan yang tidak.

Di awal tahun 2011 beberapa teman memutuskan untuk mengunjungi Ullen Sentalu dan meminta Pak Pekik menjadi guide. Saya ikut, mengunjungi museum ini untuk kedua kalinya. Selepas ini kami bersantai dan menikmati seafood di Pantai Depok. Sungguh saya agak menyesal karena kami memaksanya ikut. Ternyata Pak Pekik tidak bisa sama sekali memakan seafood. Untuk pertama kalinya kami melihat tersiksanya beliau saat melihat hidangan-hidangan laut keluar. Akhirnya beliau meminta dibuatkan mie kuah dengan telur. Meskipun demikian beliau masih mampu menceritakan filosofi batik parang yang diambil dari bentuk parang di Gunung Kidul yang terlihat dari pantai. Masih bertingkah dengan keriangannya yang khas. Sepulangnya beliau juga masih sempat menjelaskan satu situs karang di sana.

Awal Februari saat teman-teman pulang ke Bandung, sementara saya memutuskan tetap tinggal di Yogya karena alasan kesehatan untuk tidak terlalu lelah menjelang ujian, Pak Pekik, Mbak Ijul, dan saya berkeliling kompleks keraton kembali. Kami mblusuk-mblusuk melihat bagian-bagian lain keraton sampai dibagi masing-masing lepet untuk mengganjal perut oleh para abdi dalem, mengunjungi rumah joglo yang dibangun pada masa pemerintahan HB III yang ternyata adalah tempat rias pengantin yang masih memegang pakem klasik Yogya. Lalu perjalanan diteruskan untuk menelusuri sisi selatan yang tidak begitu diekspos. Ternyata filosofi lengkap keraton dimulai dari sini. Di sini pula Pak Pekik mengungkapkan kekagumannya terhadap HB I sebagai kreator, arsitek, dan seniman ulung di samping kesederhanaan dan ketaatannya dalam Islam. Tampaknya, di sini pelan-pelan dari caranya tersendiri Pak Pekik menyadarkan saya bahwa kehidupan keraton tidak selalu dalam gambaran kemewahan. Ada sisi lain yang lebih penting dari itu, sisi lain yang jauh dari perebutan harta antar anggota keluarga. Perjalanan berujung pada salah satu rumah kerabat Sultan yang digunakan untuk angkringan. Di sini kami bertiga berdiskusi banyak hal.

Banyak kehebohan yang dilakukan beliau selam di Yogya. Dari "kenakalan"nya untuk membolos pelatihan, yang akhirnya saya tahu apa yang dilakukannya adalah hal yang penting juga. Main-mainnya bukan main-main sembarangan. Main-mainnya adalah seputar mengunjungi museum, keraton, perpustakaan keraton, latihan gamelan di keraton untuk tampil di beberapa acara keraton, dan banyak lagi. Kemudian memasang pasfoto dengan pakaian beskap di formulir peserta tes IELTS, dan banyak lagi.

Penelusuran berikutnya yang kami lakukan berdua adalah mengunjungi kompleks kampus Widya Mataram yang dulunya adalah istana putra mahkota. Di sini kami menemui banyak kerusakan, dari keretakan tiang, coretan pada dinding, lapisan kayu yang mengelupas, hiasan di langit-langit yang digerogoti rayap, bahkan pembangunan gedung atau rumah baru di sekeliling dan di dalam lokasi kampus yang merusak bentuk asli kompleks ini. Kalau dalam bahasa Jawa, saat itu kami berdua hanya bisa njelu-njelu melihat kondisi tersebut. Setelah puas mengumpulkan data baginya, dan pengumpulan "data" bagi saya, berupa foto-foto kondisi bangunan, kami mengunjungi keraton yang di saat itu pameran sedang diadakan. Saat pemutaran video penobatan HB X, CD yang dimiliki keraton saat itu rusak. Pak Pekik dengan sigap menyodorkan file di flashdisk-nya untuk ditonton bersama. Kuliah untuk saya pun berlanjut, dari penjelasan kereta-kereta keraton yang dipamerkan, bahkan tandu sederhana untuk menggotong HB I saat beliau tak mampu berjalan, pembuatan gong, tenun ikat, keris, wayang, sampai akhirnya kami kemalaman sementara jam malam asrama hampir dekat. Dan tiba-tiba hujan deras turun sehingga saya menelepon satpam asrama meminta izin pulang malam. Untunglah diizinkan meski diomeli panjang lebar.

Selepas tes IELTS kami melakukan penelusuran terakhir. Saya ingat kata-katanya, "Saya merasa bersalah, punya kerabat tapi nggak begitu tahu sejarah asal-usulnya." Karena itulah beliau mengajak saya ke Imogiri, lokasi pemakaman raja-raja Mataram. Meskipun dengan agak sedikit terpaksa karena saya harus menggunakan kemben. Pak Pekik mengatakan, "Kemben itu jangan selalu dianggap keseksian. Kemben tradisional beda dengan yang ditayangkan di televisi." Dan ya, memang benar. Aura yang ada di Imogiri tidak membuat orang-orang berpikir itu adalah hal yang menjurus ke arah yang aneh-aneh. Meski saat itu para abdi dalem sempat mengira beliau adalah ayah saya karena wajah saya yang entah kenapa menjadi seusia anak SMP! Memasuki makam HB IX saya menangkap beliau termenung, kemudian berkata,"HB IX adalah seseorang yang sangat saya kagumi. Sikap beliaulah yang mengingkatkan diriku untuk selalu mengingat, bagaimanapun kita dididik, dibesarkan, dengan cara apapun, tapi tidak melupakan bahwa kita ini bangsa Indonesia." Di sini juga beliau berkata, "Saya merasa hutang saya lunas dengan mengajak Eyang ke sini. Dari yang ternyata Eyang bertanya-tanya juga tentang 'siapa saya, dari mana asal-usul saya', akhirnya bisa sowan ziarah ke leluhur." Saya baru menyadarinya sekarang, ucapan ini seolah-olah memang pelunasan hutang terhadap saya.

Sekembalinya ke Bandung kami semua disibukkan kembali oleh kerjaan. Dan saya, tersibukkan oleh pencarian supervisor untuk studi doktoral, pendaftaran beasiswa Dikti serta proses-prosesnya, seminar, dan juga perkuliahan dan urusan laboratorium. Sampai di bulan Oktober Pak Pekik mendatangi ruangan saya untuk mengabarkan akhirnya beliau mendaftar beasiswa Dikti batch 7 untuk keberangkatan tahun 2012. Kami sempat mengobrol tentang urusan beasiswa. Kemudian bertemu di dekat parkiran motor belakang, dengan teriakannya dari kejauhan memanggil saya, "Eyaaaaang!!!" Dan saya sempat bilang, "Husy, ngejatuhin kredibilitas saya nih. Mosok tampang gini jadi Eyang." Itu adalah pertemuan terakhir kami saat beliau terlihat dalam kondisi sehat.

Sampai Sabtu lalu saya di-sms Cici Ira yang mengabarkan Pak Pekik baru saja keluar dari ICU selama seminggu. Kala itu beliau sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Saya kaget. Kok tidak ada yang mengabari sedari awal. Senin siang saya ditelepon Mbak Citra dan Mbak Ijul. Mbak Citra mengajak saya menengok beliau, dan Mbak Ijul setengah memaksa saya untuk besuk. Ya, tentu saja saya akan besuk tanpa dipaksa. Mbak Ijul yang telah menengoknay di pagi hari berkata, "Dhek, Pekik nanyain kamu lho. Mana Eyang? Terus nanya juga, mana Citra, mana Rangga? Ke sana ya siang ini. Beda banget kondisinya, nggak seperti Pekik yang biasa kita lihat."

Sesampainya di sana saya hanya bisa diam. Bingung. Ketika ibu, ayah, dan paman beliau berkata kami datang, dia bertanya, "Siapa aja yang dateng?" Penglihatannya sudah tak jelas karena pembuluh matanya sempat pecah. Kami disuruh mendekat olehnya agar dapat terlihat jelas. Pak Rangga meminta izin keluar dan mengajak Mbak Citra dan saya. Pak Rangga nggak tega melihatnya, dan tidak mau kembali ke kamar rawat inap. Akhirnya hanya Mbak Citra dan saya yang kembali, untuk mengobrol dengan ibu beliau. Di tengah-tengah obrolan, tiba-tiba Pak Pekik memohon, "Mbak Niken, tolong pijetin kakiku. Saya minta tolong Mbak." Deg! Jantung saya sesaat serasa berhenti. Bukannya mendahului, tapi dari cerita pengalaman orang tua saya, ketika kerabat-kerabat kami atau tetangga mendekati ajal, selalu meminta pijatan atau gosokan di kaki. Seperti Mbah Buyut dari Mbah Kung, meminta kakinya digosok balsem saat nyawanya ditarik sementara ibu yang saat itu baru duduk di bangku SMA masih belum mengerti mengapa kaki Mbah Buyut semakin dingin sementara beliau dengan sendirinya berdzikir saat sakaratul maut. Atau tetangga depan rumah yang meminta ibu memijat kakinya, atau Mbah Tedjo yang meminta kakinya dipijat pula oleh ayah, dan banyak lagi. Saya memijatnya dengan rasa tidak tega karena harus menggunakan sarung tangan. Rasanya seperti apa saja, harus dilindungi sarung tangan. Saya juga tidak tega melihat wajahnya, hanya sesekali saya menengok sambil tersenyum dan menghibur dan berkata pada beliau untuk beristirahat, dan melihat matanya yang merah perlahan-lahan memutih kembali. Monitor peralatan medis lebih saya perhatikan kala itu.

Senin malam hingga Selasa siang saya disibukkan oleh kegiatan permintaan supervisor saya untuk mendaftar online studi doktoral, istirahat, serta menguji sidang, sambil agak tidak mampu berkonsentrasi memikirkan beliau. Selesai sidang saya membuka milis dosen, dan ada email meminta untuk mendoakan beliau karena sempat koma. Saya berdoa dalam hati, begitu juga selepas Zhuhur saya kembali mendoakan yang terbaik bagi beliau. Jika Allah SWT menghendaki beliau sehat kembali, sehatkanlah, jika tidak, peringankanlah deritanya untuk menghadap Allah SWT. Tak lama setelah itu, pukul 13.40 Cici Ira sms mengabarkan beliau pergi untuk selamanya pada pukul 13.30. Saya shock. Terdiam. Memutuskan untuk mengurung diri di ruangan dan menangis. Kemudian mengabarkan berita tersebut ke ibu, grup EAP Dikti Yogya, dan juga memasang status duka di facebook maupun twitter. Dari social media pula saya tahu, banyak yang kehilangan. Dan setelah berita itu, hampir semua bengong, tidak konsen terhadap pekerjaan meski urgent sekalipun. Almarhum dimakamkan malam itu di dekat rumahnya. Tapi saya tidak kuat menghadiri pemakamannya. Baru beberapa hari setelah itu saya ke rumahnya menemui ibu, ayah, Mbak Reki (adik beliau) dan suaminya. Kami mengobrol mengenang beliau. Ya, mengenang beliau.

Selamat jalan sahabatku, cucuku, guru sejarahku. Terima kasih telah mengenalkan sejarah Mataram kepadaku, sesuatu yang sangat berharga. Terima kasih untuk mengingatkanku, untuk tidak melupakan sejarah keluarga sehingga kita bisa mengambil hikmah apa yang baik dan apa yang buruk. Terima kasih telah menghiasi hari-hari kami dengan kerianganmu yang khas. Terima kasih untuk keramahan dan kesupelanmu terhadap semua orang. Terima kasih untuk tidak pelit membagi ilmu kepada semua. Dan masih banyak lagi terima kasih-terima kasih lainnya yang tidak mungkin kami sebut semuanya. Selamat jalan. Semoga Iman dan Islammu diterima Allah SWT. Semoga engkau diringankan di alam kubur dan barzah kelak. Dan saya setuju dengan Cici Oca, untuk menambahkan gelar PhD di belakang namamu. Tahun depan seharusnya engkau bergabung dengan kami bersama-sama di Eropa untuk menempuh studi doktoral. Negara juga kehilangan satu aset berharga negeri ini dengan kecerdasan dan kepiawaianmu dalam menyampaikan ilmu. Tunggulah kami semua di alam kekal, R. Pekik Ginong Pratidino, S.T., M.T., Ph.D.